LAPORAN PENGAMATAN FILM LASKAR PELANGI
Nama :
Marlince Blegur
Semester :
VII (Tujuh)
Mata Kuliah : Kode Etik Profesi Keguruan
Dosen :
Esterina A. Juniva, S.Th
Judul
Film : Laskar Pelangi
Durasi :
125 menit
Sutradara :
Riri Riza
Produser :
Mira Lesmana
_______________________________________________________________________
Cerita di film diawali dengan Ikal besar
berkunjung ke kampung halamannya di Belitung, narasi ikal kemudian mengantar
kita ke kenangan masa kecilnya, jauh ketika pertama kalinya ikal masuk sekolah
SD Muhammadiyah dengan memakai sepatu lungsuran kakaknya yang berwarna
pink-centil. Di awal film penonton sudah disodori dengan kegelisahan mengenai
apakah anak-anak Belitung ini bisa sekolah, jumlah mereka masih 9 orang,
padahal dibutuhkan 10 untuk bisa membuka sekolah tersebut di tahun ajaran itu.
Lalu dengan begitu dramatis, datanglah Harun, siswa terakhir SD Muhammadiyah
Belitung, sang siswa penentu yang digambarkan berlari-lari ke sekolah melintasi
padang rumput dengan kaos kaki panjangnya yang berwarna merah, diiringi dengan
teriakan sang Ibu yang mengejar di belakangnya, dan Ibu Mus, Guru SD Muhammadiyah
itu kemudian tersenyum lega.
Film ini memang tidak hanya berkualitas dari sisi perfilman dan hiburan,
tetapi juga dari sisi pesan yang hendak disampaikannya. Pesan moralnya begitu
kuat. Paling tidak ada tiga hal besar pesan pentingnya: Optimisme, semangat
belajar, dan semangat mengejar cita-cita.
PESAN PENDIDIKAN
Meski demikian, para
pendidiknya (Pak Harfan dan Bu Muslmah) berusaha sekuat tenaga untuk
mempertahankan eksistensi sekolahnya. Mereka beranggapan bahwa sekolah tersebut
adalah warisan luhur yang harus dilestarikan dan dikembangkan, karena sekolah
ini adalah satu-satunya (di tanah Belitung) yang mengajarkan antara ilmu dan agama.
Dan SD tersebut ternyata mempunyai para siswa yang penuh bakat misalnya,
Lintang yang cerdas dalam matematika, dan Mahar yang pintar dalam hal seni.
Keduanya mengharumkan sekolah mereka saat ada perlombaan antar sekolah SD.
Hanya saja kemudian kecerdasan mereka tak bisa tersalurkan akibat himpitan
hidup yang memaksa mereka untuk bekerja membantu perekonomian keluarganya.
Guru Sebagai Motivator
Tokoh Pak
Harfan dan Bu Muslimah sebagai guru begitu strategis dalam film Laskar Pelangi.
Keduanya menjadi inspirasi para siswanya untuk terus bersemangat dalam belajar.
Kata-kata mutiara yang sering diucapkan Pak Harfan terhadap anak-anaknya adalah
‘hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk menerima
sebanyak-banyaknya’ menjadi ruh para siswa untuk optimis mengarungi hidupnya.
Pak Harfan memberi siswanya pelajaran tentang keteguhan pendirian, ketekunan,
dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Dia meyakinkan mereka bahwa hidup
bisa demikian bahagia jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama.
Tak jauh berbeda juga dengan peran Bu Muslimah. Dia menjadi figur ‘ibu’ di
sekolah, yang selalu mengayomi para Laskar Pelangi (panggilan untuk kesepuluh
siswanya itu).
Dari film tersebut melalui tokoh
kedua pendidik itu tersirat bahwa sebagai guru tidak hanya sekadar mentransfer
keilmuanan yang terdapat dalam buku-buku, melainkan juga membantu para siswanya
untuk menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan minatnya. Tidak berhenti
di situ saja, seorang guru pun harus menjadi motivator para siswanya, agar para
siswa bersemangat dalam belajar, mengejar cita-cita, dan berbuat baik, serta
rendah hati. Dus, saya tekankan sekali lagi bahwa kedua pendidik tersebut,
yaitu Pak Harfan dan Bu Mus, bukan sekadar mengajari para siswanya tentang
materi pelajaran yang didapat dari buku-buku kurikulum, tapi juga mengajarkan
budi pekerti dan memberi tauladan yang baik dari kehidupan nyata.
Begitulah idealnya seorang
pendidik atas anak didiknya. Kehidupan yang didapat dari teori-teori
pengetahuan dan kehidupan konkrit yang didapat dari kenyataan hidup harus
secara beriringan pada saat ditransfer kepada para siswanya. Maka, dengan kata
lain bahwa pendidikan sejatinya menghilangkan jarak antara alam materi dan alam
konkrit, antara dunia teori dengan dunia nyata. Dengan begitu, diharapkan
peserta didik mempunyai visi ke depan, sehingga ia dapat merencanakan hidupnya
di masa depan.
Pelajar
Sejati
Anggota Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati. Betapa tidak, mereka
tetap bertahan untuk melangsungkan pembelajaran di sekolah yang sesungguhnya
tak layak untuk ditempati. Mereka benar-benar teruji sebagai pelajar sejati,
lantaran tak kalah dengan keadaan. Maka cita rasa pendidikannya pun akan lain
dengan keadaan sekolah yang serba mewah. Kearifan hidup tak terasa di sekolah yang
serba memanjakan siswanya. Inilah sesungguhnya yang telah hilang dari dunia
pendidikan kita baik tingkat Taman Kanak-Kanak maupun Perguruan Tinggi.
Harus diakui bahwa dunia pendidikan saat ini telah kehilangan makna dan
karakternya. Dasar dan falsafah pendidikannya pun hampir tak tersentuh sama
sekali. Pendidikan kita saat ini sangat berorientasi pada materialisme,
rasionalisme, kapitalisme, dan standarisme (nasional maupun internasional).
Para pendidik seperti Pak Harfan dan Bu Muslimah sangat jarang kita temui saat
ini. Guru-guru kita telah terjebak pada rutinitas belaka sebagai “guru”, yang
hanya menjalankan kewajibannya dan memikirkan pendapatannya saja. Mereka telah
kehilangan ruh sebagai pendidik yang sejatinya harus memberi suri tauladan
hidup bagi peserta didiknya.
Efek dari seorang pendidik yang memfungsikan dirinya sebagai suri
tauladan akan sangat berpengaruh terhadap peserta didiknya. Hal itu bisa kita
lihat pada tokoh Pak Harfan dan Bu Muslimah yang memberikan suri tauladan
kepada Laskar Pelangi. Pak Harfan sering memberikan kisah-kisah inspiratif dan
dorongan positif kepada Lintang dan kawan-kawannya itu, dan Bu Muslimah selalu
memperhatikan mereka dengan sepenuh hati yang dilandasi kasih dan sayang.
Efeknya adalah mereka tetap semangat belajar walau sekolah mereka minim
fasilitas. Mereka juga semangat menjalankan hidupnya, lantaran terlecut
kisah-kisah dan motivasi yang diberikan kedua pendidik mereka, Pak Harfan dan
Bu Muslimah.
Laskar Pelangi adalah para pelajar sejati yang tak
terkalahkan oleh keadaan yang serba minim. Keadaan yang serba kekurangan tidak
menghalangi mereka untuk selalu belajar. Mereka tidak saja belajar dalam kelas
tetapi juga belajar dari alam yang mengajarkan mereka untuk berbagi kepada
sesama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar